Siti Masyitoh
“Apa, di dalam kerajaanku sendiri ada pengikut Musa?” Teriak Fir’aun dengan amarah yang membara setelah mendengar cerita putrinya perihal keimanan Siti Masyitoh. Hal ini bermula ketika suatu hari Siti Masyitoh sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisir itu terjatuh, seketika Siti Masyitoh mengucap Astagfirullah. Sehingga terbongkarlah keimanan Siti Masyitoh yang selama ini disembunyikannya.
“Baru saja aku menerima laporan dari Hamman, mentriku, bahwa pengikut Musa terus bertambah setiap hari. Kini pelayanku sendiri ada yang berani memeluk agama yang dibawa Musa. Kurang ajar si Masyitoh itu,” umpat Fir’aun.
“Apa, di dalam kerajaanku sendiri ada pengikut Musa?” Teriak Fir’aun dengan amarah yang membara setelah mendengar cerita putrinya perihal keimanan Siti Masyitoh. Hal ini bermula ketika suatu hari Siti Masyitoh sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisir itu terjatuh, seketika Siti Masyitoh mengucap Astagfirullah. Sehingga terbongkarlah keimanan Siti Masyitoh yang selama ini disembunyikannya.
“Baru saja aku menerima laporan dari Hamman, mentriku, bahwa pengikut Musa terus bertambah setiap hari. Kini pelayanku sendiri ada yang berani memeluk agama yang dibawa Musa. Kurang ajar si Masyitoh itu,” umpat Fir’aun.
“Panggil Masyitoh
kemari,” perintah Fir’aun pada pengawalnya. Masyitoh datang menghadap Fir’aun
dengan tenang. Tidak ada secuil pun perasaan takut di hatinya. Ia yakin Allah
senantiasa menyertainya.
“Masyitoh, apakah benar kamu telah memeluk agama yang dibawa Musa?”. Tanya Fir’aun pada Masyitoh dengan amarah yang semakin meledak.
“Benar,” jawab Masyitoh mantap.
“Kamu tahu akibatnya? Kamu sekeluarga akan saya bunuh,” bentak Fir’aun, telunjuknya mengarah pada Siti Masyitoh.
“Saya memutuskan untuk memeluk agama Allah, maka saya telah siap pula menanggung segala akibatnya.”
“Masyitoh, apa kamu sudah gila! Kamu tidak sayang dengan nyawamu, suamimu, dan anak-anakmu.”
“Lebih baik mati daripada hidup dalam kemusyrikan.”
Melihat sikap Masyitoh yang tetap teguh memegang keimanannya, Fir’aun memerintahkan kepada para pengawalnya agar menghadapkan semua keluarga Masyitoh kepadanya.
“Siapkan sebuah belanga besar, isi dengan air, dan masak hingga mendidih,” perintah Fir’aun lagi.
Ketika semua keluarga Siti Masyitoh telah berkumpul, Fir’aun memulai pengadilannya.
“Masyitoh, kamu lihat belanga besar di depanmu itu. Kamu dan keluargamu akan saya rebus. Saya berikan kesempatan sekali lagi, tinggalkan agama yang dibawa Musa dan kembalilah untuk menyembahku. Kalaulah kamu tidak sayang dengan nyawamu, paling tidak fikirkanlah keselamatan bayimu itu. Apakah kamu tidak kasihan padanya.”
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fir’aun, Siti Masyitoh sempat bimbang. Tidak ada yang dikhawatirkannya dengan dirinya, suami, dan anak-anaknya yang lain, selain anak bungsunya yang masih bayi. Naluri keibuannnya muncul. Ditatapnya bayi mungil dalam gendongannya. “Yakinlah Masyitoh, Allah pasti menyertaimu.” Sisi batinnya yang lain mengucap.
Ketika itu, terjadilah suatu keajaiban. Bayi yang masih menyusu itu berbicara kepada ibunya, “Ibu, janganlah engkau bimbang. Yakinlah dengan janji Allah.” Melihat bayinya dapat berkata-kata dengan fasih, menjadi teguhlah iman Siti Masyitoh. Ia yakin hal ini merupakan tanda bahwa Allah tidak meninggalkannya.
Allah pun membuktikan janji-Nya pada hamba-hamba-Nya yang memegang teguh (istiqamah) keimanannya. Ketika Siti Masyitoh dan keluarganya dilemparkan satu persatu pada belanga itu, Allah telah terlebih dahulu mencabut nyawa mereka, sehingga tidak merasakan panasnya air dalam belanga itu.
Demikianlah kisah seorang wanita shalihah bernama Siti Masyitoh, yang tetap teguh memegang keimanannya walaupun dihadapkan pada bahaya yang akan merenggut nyawanya dan keluarganya.
Ketika Nabi Muhammad Saw. isra dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, beliau mencium aroma wangi yang berasal dari sebuah kuburan. “Kuburan siapa itu, Jibril?” tanya baginda Nabi.
“Itu adalah kuburan seorang wanita shalihah yang bernama Siti Masyitoh,” jawab Jib
“Masyitoh, apakah benar kamu telah memeluk agama yang dibawa Musa?”. Tanya Fir’aun pada Masyitoh dengan amarah yang semakin meledak.
“Benar,” jawab Masyitoh mantap.
“Kamu tahu akibatnya? Kamu sekeluarga akan saya bunuh,” bentak Fir’aun, telunjuknya mengarah pada Siti Masyitoh.
“Saya memutuskan untuk memeluk agama Allah, maka saya telah siap pula menanggung segala akibatnya.”
“Masyitoh, apa kamu sudah gila! Kamu tidak sayang dengan nyawamu, suamimu, dan anak-anakmu.”
“Lebih baik mati daripada hidup dalam kemusyrikan.”
Melihat sikap Masyitoh yang tetap teguh memegang keimanannya, Fir’aun memerintahkan kepada para pengawalnya agar menghadapkan semua keluarga Masyitoh kepadanya.
“Siapkan sebuah belanga besar, isi dengan air, dan masak hingga mendidih,” perintah Fir’aun lagi.
Ketika semua keluarga Siti Masyitoh telah berkumpul, Fir’aun memulai pengadilannya.
“Masyitoh, kamu lihat belanga besar di depanmu itu. Kamu dan keluargamu akan saya rebus. Saya berikan kesempatan sekali lagi, tinggalkan agama yang dibawa Musa dan kembalilah untuk menyembahku. Kalaulah kamu tidak sayang dengan nyawamu, paling tidak fikirkanlah keselamatan bayimu itu. Apakah kamu tidak kasihan padanya.”
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fir’aun, Siti Masyitoh sempat bimbang. Tidak ada yang dikhawatirkannya dengan dirinya, suami, dan anak-anaknya yang lain, selain anak bungsunya yang masih bayi. Naluri keibuannnya muncul. Ditatapnya bayi mungil dalam gendongannya. “Yakinlah Masyitoh, Allah pasti menyertaimu.” Sisi batinnya yang lain mengucap.
Ketika itu, terjadilah suatu keajaiban. Bayi yang masih menyusu itu berbicara kepada ibunya, “Ibu, janganlah engkau bimbang. Yakinlah dengan janji Allah.” Melihat bayinya dapat berkata-kata dengan fasih, menjadi teguhlah iman Siti Masyitoh. Ia yakin hal ini merupakan tanda bahwa Allah tidak meninggalkannya.
Allah pun membuktikan janji-Nya pada hamba-hamba-Nya yang memegang teguh (istiqamah) keimanannya. Ketika Siti Masyitoh dan keluarganya dilemparkan satu persatu pada belanga itu, Allah telah terlebih dahulu mencabut nyawa mereka, sehingga tidak merasakan panasnya air dalam belanga itu.
Demikianlah kisah seorang wanita shalihah bernama Siti Masyitoh, yang tetap teguh memegang keimanannya walaupun dihadapkan pada bahaya yang akan merenggut nyawanya dan keluarganya.
Ketika Nabi Muhammad Saw. isra dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, beliau mencium aroma wangi yang berasal dari sebuah kuburan. “Kuburan siapa itu, Jibril?” tanya baginda Nabi.
“Itu adalah kuburan seorang wanita shalihah yang bernama Siti Masyitoh,” jawab Jib
Ketika si tukang besi
sedang duduk di rumahnya melepas lelah setelah seharian bekerja, tiba-tiba
terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Si tukang besi keluar untuk melihatnya,
pandangannya menubruk pada sesosok wanita cantik yang tak lain adalah
tetangganya.
“Saudaraku, aku menderita kelaparan. Jika bukan karena tuntutan agamaku yang menyuruh untuk memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), aku tidak akan datang ke rumahmu. Maukah engkau memberikan makanan padaku karena Allah?” Tutur wanita itu.
Ketika itu, memang tengah datang musim paceklik (kemarau). Sawah dan ladang mengering. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Padang rumput menjadi tandus hingga hewan ternak menjadi kurus dan akhirnya mati. Makanan menjadi langka, maka tak pelak kelaparan melanda sebagian besar penduduk desa itu. Hanya sebagian kecil yang masih bisa bertahan.
“Saudaraku, aku menderita kelaparan. Jika bukan karena tuntutan agamaku yang menyuruh untuk memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), aku tidak akan datang ke rumahmu. Maukah engkau memberikan makanan padaku karena Allah?” Tutur wanita itu.
Ketika itu, memang tengah datang musim paceklik (kemarau). Sawah dan ladang mengering. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Padang rumput menjadi tandus hingga hewan ternak menjadi kurus dan akhirnya mati. Makanan menjadi langka, maka tak pelak kelaparan melanda sebagian besar penduduk desa itu. Hanya sebagian kecil yang masih bisa bertahan.
“Tidakkah engkau tahu bahwa aku
mencintaim? Akan kuberi engkau makanan, tetapi engkau harus melayaniku
semalam,” kata tukang besi itu.
Si tukang besi memang jatuh hati kepada tetangganya itu. Dia merayunya dengan berbagai cara dan taktik, namun tak juga berhasil meluluhkan hati wanita itu.
“Lebih baik mati kelaparan daripada durhaka kepada Allah,” ujar wanita itu lagi sambil berlalu menuju rumahnya.
Setelah dua hari berlalu, wanita itu kembali mendatangi rumah si tukang besi dan mengatakan hal yang sama. Demikian pula jawaban si tukang besi. Ia akan memberi makanan asalkan wanita itu mau menyerahkan dirinya. Mendengar jawaban yang sama, wanita itupun kembali ke rumahnya.
Dua hari kemudian, wanita itu datang lagi ke rumah tukang besi itu dalam keadaan payah. Suaranya parau, matanya sayu, dan punggungnya membungkuk karena menahan lapar yang tiada tara. Ia kembali mengatakan hal serupa. Begitu pula jawaban si tukang besi, sama dengan yang sudah-sudah. Wanita itu kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk kali ketiga.
Ketika itulah, Allah memberikan hidayah-Nya kepada si tukang besi. “Sungguh celaka aku ini, seorang wanita mulia datang kepadaku, dan aku terus berlaku dzalim kepadanya,” tutur tukang besi dalam hatinya. “Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu dari perbuatanku dan aku tidak akan mengganggu wanita itu lagi selamanya.”
Si tukang besi itu bergegas mengambil makanan dan pergi ke rumah wanita itu. Diketuknya pintu rumah wanita itu. Tak lama berselang, kerekek…terlihat pintu terbuka dan muncullah sesosok wanita yang nampak kuyu. Melihat si tukang besi berdiri di depan pintu rumahnya, wanita itu bertanya, “Apa keperluanmu datang ke rumahku?”
“Aku bermaksud mengantarkan sedikit makanan yang aku punya. Jangan khawatir, aku memberinya karena Allah,” jawab si tukang besi itu.
“Ya Allah, jika benar apa yang dikatakannya, maka haramkanlah ia dari api di dunia dan akhirat,” tutur wanita itu seraya menengadahkan kedua tanganya ke langit.
Si tukang besi itu pulang ke rumahnya. Ia memasak makanan yang tersisa buat dirinya. Tiba-tiba secara tak sengaja bara api mengenai kakinya, namun kaki si tukang besi itu tidak terbakar. Bergegas ia menemui wanita itu lagi.
“Wanita yang mulia, Allah telah mengabulkan doamu,” ujar si tukang besi.
Seketika itu, wanita itu sujud syukur kepada Allah.
“Ya Allah engkau telah mewujudkan doaku, maka cabutlah nyawaku saat ini juga.” Terdengar suara lirih dari mulut wanita itu dalam sujudnya. Allah kembali mendengar doanya. Wanita itupun berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan sujud.
Demikianlah kisah seorang wanita yang menjaga kehormatannya meskipun harus menahan rasa lapar yang tiada tara.
Si tukang besi memang jatuh hati kepada tetangganya itu. Dia merayunya dengan berbagai cara dan taktik, namun tak juga berhasil meluluhkan hati wanita itu.
“Lebih baik mati kelaparan daripada durhaka kepada Allah,” ujar wanita itu lagi sambil berlalu menuju rumahnya.
Setelah dua hari berlalu, wanita itu kembali mendatangi rumah si tukang besi dan mengatakan hal yang sama. Demikian pula jawaban si tukang besi. Ia akan memberi makanan asalkan wanita itu mau menyerahkan dirinya. Mendengar jawaban yang sama, wanita itupun kembali ke rumahnya.
Dua hari kemudian, wanita itu datang lagi ke rumah tukang besi itu dalam keadaan payah. Suaranya parau, matanya sayu, dan punggungnya membungkuk karena menahan lapar yang tiada tara. Ia kembali mengatakan hal serupa. Begitu pula jawaban si tukang besi, sama dengan yang sudah-sudah. Wanita itu kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk kali ketiga.
Ketika itulah, Allah memberikan hidayah-Nya kepada si tukang besi. “Sungguh celaka aku ini, seorang wanita mulia datang kepadaku, dan aku terus berlaku dzalim kepadanya,” tutur tukang besi dalam hatinya. “Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu dari perbuatanku dan aku tidak akan mengganggu wanita itu lagi selamanya.”
Si tukang besi itu bergegas mengambil makanan dan pergi ke rumah wanita itu. Diketuknya pintu rumah wanita itu. Tak lama berselang, kerekek…terlihat pintu terbuka dan muncullah sesosok wanita yang nampak kuyu. Melihat si tukang besi berdiri di depan pintu rumahnya, wanita itu bertanya, “Apa keperluanmu datang ke rumahku?”
“Aku bermaksud mengantarkan sedikit makanan yang aku punya. Jangan khawatir, aku memberinya karena Allah,” jawab si tukang besi itu.
“Ya Allah, jika benar apa yang dikatakannya, maka haramkanlah ia dari api di dunia dan akhirat,” tutur wanita itu seraya menengadahkan kedua tanganya ke langit.
Si tukang besi itu pulang ke rumahnya. Ia memasak makanan yang tersisa buat dirinya. Tiba-tiba secara tak sengaja bara api mengenai kakinya, namun kaki si tukang besi itu tidak terbakar. Bergegas ia menemui wanita itu lagi.
“Wanita yang mulia, Allah telah mengabulkan doamu,” ujar si tukang besi.
Seketika itu, wanita itu sujud syukur kepada Allah.
“Ya Allah engkau telah mewujudkan doaku, maka cabutlah nyawaku saat ini juga.” Terdengar suara lirih dari mulut wanita itu dalam sujudnya. Allah kembali mendengar doanya. Wanita itupun berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan sujud.
Demikianlah kisah seorang wanita yang menjaga kehormatannya meskipun harus menahan rasa lapar yang tiada tara.
Setiap muslimah
mestinya dapat mengambil i’tibar (pelajaran berharga) dari berbagai kisah
wanita shalihah yang telah diuraikan di muka. Merekalah yang mestinya dijadikan
suri tauladan dalam kehidupan keseharian, bukan para artis yang menawarkan gaya
hidup hedonisme dan materialisme
Dikutip dari buku "Bidadari
Dunia Potre Ideal Wanita Muslim", Muh. Syafi'i Al-Bantani
Oleh : Reza Ervani
(Ditulis sebagai persembahan cinta untuk Mas Yudha)
Usai sholat maghrib itu,
Seorang gadis kecil berjilbab merah jambu, dengan baju serasi yang juga berwarna indah
Mengendap-ngendap, menyusup melewati batas sholat laki-laki dan wanita
Mata bolanya lucu mengganggu syaraf geli di hatiku
Doapun segera kuakhirkan, melihat apa yang si lucu ini rencanakan ...
Kepalanya bergerak lucu, mencari-cari sesuatu di luasnya ruang masjid
Mimik wajahnya menjadi semakin cerah, ketika sesuatu itu ternyata ditemukannya di salah satu sudut masjid
Langkahnya diayun pelan-pelan, menambah lucu wajahnya
Mengendap-ngendap, jilbabnya juga berayun dengan ritme jenaka
Senyumku semakin mengembang ..., bertanya-tanya ...
Sedetik, dua detik, tiga detik ...
"Papaaaaah ..."
Gadis kecil itu melompat memeluk sosok laki-laki yang sedang tidur-tiduran di lantai masjid.
Sang ayah sejenak kaget,
Tapi lalu menyambut hangat tubuh mungil itu dalam pelukannya.
Dan tawa keduanya pun membelah keheningan petang itu ...
Dalam hangat kasih sayang di akhir Ramadhan ...
Ahh, Robb, aku iri ....
PUSDAI, Akhir Ramadhan 1427
Al Faqir Reza Ervani
(Ditulis sebagai persembahan cinta untuk Mas Yudha)
Usai sholat maghrib itu,
Seorang gadis kecil berjilbab merah jambu, dengan baju serasi yang juga berwarna indah
Mengendap-ngendap, menyusup melewati batas sholat laki-laki dan wanita
Mata bolanya lucu mengganggu syaraf geli di hatiku
Doapun segera kuakhirkan, melihat apa yang si lucu ini rencanakan ...
Kepalanya bergerak lucu, mencari-cari sesuatu di luasnya ruang masjid
Mimik wajahnya menjadi semakin cerah, ketika sesuatu itu ternyata ditemukannya di salah satu sudut masjid
Langkahnya diayun pelan-pelan, menambah lucu wajahnya
Mengendap-ngendap, jilbabnya juga berayun dengan ritme jenaka
Senyumku semakin mengembang ..., bertanya-tanya ...
Sedetik, dua detik, tiga detik ...
"Papaaaaah ..."
Gadis kecil itu melompat memeluk sosok laki-laki yang sedang tidur-tiduran di lantai masjid.
Sang ayah sejenak kaget,
Tapi lalu menyambut hangat tubuh mungil itu dalam pelukannya.
Dan tawa keduanya pun membelah keheningan petang itu ...
Dalam hangat kasih sayang di akhir Ramadhan ...
Ahh, Robb, aku iri ....
PUSDAI, Akhir Ramadhan 1427
Al Faqir Reza Ervani
Namanya...Hilma Wahdatul Kamilah.
Dia lahir pada hari Kamis, 17
Juli 2003 di sebuah rumah bersalin...berarti sekarang dah 3 tahun yaaa...
Gak kerasa putaran waktu begitu
cepat...rasanya baru kemarin dia hadir ke dunia dengan tangisannya yg
melengking tinggi, diiringi oleh selaksa do'a dari bundanya agar kelak dia
selalu di lindungi oleh-NYA dan agar kelak dia bisa jadi permata kebanggaan
sang bunda.
Rasanya baru kemarin, ketika dia
mengeluarkan kata pertamanya...Sekarang, dia malah dah bisa diajak
bicara...bahkan dah bisa "mentaushiahi" bundanya dengan celotehan -
celotehannya...
Rasanya baru kemarin, ketika dia
terjatuh saat mencoba langkah pertamanya...Sekarang, dia telah berlari kesana
kemari tanpa pernah terlihat lelah...
Dia selalu aktif dan gak pernah
diam...ada saja selalu yg dikerjakannya. Kadang berpikir mungkin dia terdiam
hanya saat tidur saja...Ooo tidak, saat tidur pun dia tidak diam...dia kan
menjelajahi setiap sudut tempat tidurnya...Kadang dalam tidurnya dia tersenyum
dan tertawa...Subhanallah...
Aku begitu sangat mengenalnya...
Karena dia terlahir dari
rahimku...dalam setiap hembusan nafasnya ada darahku...
Ya, dialah puteri kecilku...Salah
satu Anugerah Terindah Dalam Hidupku...
Aku kadang memanggilnya
sayang...atau cinta...atau eneng...atau kadang sholihah...atau cukup Ima
saja...dan dia memanggilku Bunda atau Nda' saja :)
Bagiku...dia sangat CAntik
Bagiku...dia sangat cerDAs
Dan dalam setiap doaku aku
berharap selalu dia jadi anak SHOlihah...
CADASHO maning....
Cinta, maafkan bundamu yaa...yg
belum bisa bersabar selalu dalam menghadapi semua kecerdasanmu...
Sayang, maafkan bundamu yaa...yg
belum bisa memberikan yg terbaik bagi dirimu..
Eneng, maafkan Nda' yaa...yg
selalu meninggalkanmu dalam banyak momentum karena Nda' mesti pergi bekerja...
Sholihah, maafkan Nda' yaa...atas
semua kekurangan bunda, dan jangan lupa doakan agar bunda bisa jadi bunda yg
terbaik untukmu, selalu.
Rabbana...berikan hamba
kesempatan, kemampuan, kekuatan, dan keikhlasan tuk menjadi Ibu yg terbaik bagi
dirinya...
Aku ber'azzam dan akan terus
berusaha tuk menjadi ibu terbaik baginya dan membesarkannya sepenuh kasihku
agar kelak dia menjadi manusia yg baik dan benar di mata manusia dan dimata
Rabb nya.
Wlo pun aku harus membesarkannya
sendirian...Yaa,karena aku adalah single parent baginya...
Sepenuh cinta dari bunda tuk yg tercinta Hilma
by EH (sang bunda)
Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengaduh pada
ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.
"Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran
air mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita bangsa kerang sebuah tangan
pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi terimalah
itu sebagai takdir alam."
"Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu
melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau
perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut.
Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada
hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah
kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya. Tetapi
tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang.
Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih
wajar.
Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna.
Penderitaannya berubah menjadi mutiara ;
air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya
kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta
kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.
*******************************************************************
Cerita di atas adalah sebuah paradigma yg menjelaskan
bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan "kerang
biasa" menjadi "kerang luar biasa".
Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan
penderitaan dapat mengubah "orang biasa" menjadi "orang luar
biasa".
Banyak orang yang mundur saat berada di lorong
transendental tersebut, karena mereka tidak tahan dengan cobaan yang mereka
alami. Ada dua pilihan sebenarnya yang bisa mereka masuki: menjadi `kerang
biasa' yang disantap orang,
atau menjadi `kerang yang menghasilkan mutiara'.
Sayangnya, lebih banyak orang yang mengambil pilihan pertama, sehingga tidak
mengherankan bila jumlah orang yang sukses lebih sedikit dari orang yang
`biasa-biasa saja'.
So..sahabat mungkin saat ini kamu sedang mengalami penolakan, kekecewaan, kesedihan, atau terluka karena orang2 dan
hal2 di sekitar kamu.
Cobalah untuk tetap tersenyum dan tetap berjalan di
lorong tersebut, dan sambil katakan didalam hatimu.
"Airmataku diperhitungkan Tuhan..dan penderitaanku ini akan
mengubah diriku menjadi mutiara2... "
Cinta yang Takkan Pernah (Mampu) Terbayar
Lutfia, bukan siapa-siapa. Tapi ia menjadi seseorang yang akan disebut namanya di Surga kelak oleh Yusuf, anak tercintanya. Dan ia akan menjadi satu-satunya yang direkomendasikan Yusuf, seandainya Allah memperkenankannya menyebut satu nama yang akan diajaknya tinggal di Surga, meski Lutfia sendiri nampaknya takkan membutuhkan bantuan anaknya, karena boleh jadi kunci surga kini telah digenggamnya.
Bagaimana tidak, selama dua hari Lutfia menggendong anaknya yang berusia belasan tahun mengelilingi Kota Makassar untuk mencari bantuan, sumbangan dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan mengais kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah uang untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak lahir.
Tubuh Yusuf, anak tercintanya yang seberat lebih dari 40 kg tak membuat lelah kaki Lutfia, juga tak menghentikan langkahnya untuk terus menyusuri kota. Tangannya terlihat gemetar setiap menerima sumbangan dari orang-orang yang ditemuinya di jalan, sambil sesekali membetulkan posisi gendongan anaknya. Sementara Yusuf yang cacat, takkan pernah mengerti kenapa ibunya membawanya pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang sengatan terik matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.
Ribuan kilo sudah disusuri, jutaan orang sudah dijumpai, tak terbilang kalimat pinta yang terucap seraya menahan malu. Sungguh, sebuah perjuangan yang takkan pernah bisa dilakukan oleh siapa pun di muka bumi ini kecuali seorang makhluk Tuhan bernama; Ibu. Ia tak sekadar menampuk beban seberat 40 kg, tak henti mengukur jalan sepanjang kota hingga batas tak bertepi, tetapi ia juga harus menyingkirkan rasa malunya dicap sebagai peminta-minta, sebuah predikat yang takkan pernah mau disandang siapapun. Tetapi semua dilakukannya demi cintanya kepada si buah hati, untuk melihat kesembuhan anak tercinta, tak peduli seberapa besar yang didapat.
Tidak, ia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sembuh. Ia tak pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan di setiap jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya, semua letih yang menderanya sepanjang jalan menyusuri kota. Ibu takkan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya, tak mungkin juga si anak mengganti dengan seberapa pun uang yang ditawarkan untuk setiap hembusan nafasnya yang tak henti tersengal.
Lutfia, adalah contoh ibu yang boleh jadi semua malaikat di langit akan mengagungkan namanya, yang menjadi alasan tak terbantahkan ketika Rasulullah menyebut "ibu" sebagai orang yang menjadi urutan pertama hingga ketiga untuk dilayani, dihormati, dan tempat berbakti setiap anak. Lutfia, barangkali telah menggenggam satu kunci surga lantaran cinta dan pengorbanannya demi Yusuf, anak tercintanya. Bahkan mungkin senyum Allah dan para penghuni langit senantiasa mengiringi setiap hasta yang mampu dicapai ibu yang mengagumkan itu.
Sungguh, cintanya takkan pernah terbalas oleh siapapun, dengan apapun, dan kapanpun. Siapakah yang lebih memiliki cinta semacam itu selain ibu? Wallaahu 'a'lam
Lutfia, bukan siapa-siapa. Tapi ia menjadi seseorang yang akan disebut namanya di Surga kelak oleh Yusuf, anak tercintanya. Dan ia akan menjadi satu-satunya yang direkomendasikan Yusuf, seandainya Allah memperkenankannya menyebut satu nama yang akan diajaknya tinggal di Surga, meski Lutfia sendiri nampaknya takkan membutuhkan bantuan anaknya, karena boleh jadi kunci surga kini telah digenggamnya.
Bagaimana tidak, selama dua hari Lutfia menggendong anaknya yang berusia belasan tahun mengelilingi Kota Makassar untuk mencari bantuan, sumbangan dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan mengais kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah uang untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak lahir.
Tubuh Yusuf, anak tercintanya yang seberat lebih dari 40 kg tak membuat lelah kaki Lutfia, juga tak menghentikan langkahnya untuk terus menyusuri kota. Tangannya terlihat gemetar setiap menerima sumbangan dari orang-orang yang ditemuinya di jalan, sambil sesekali membetulkan posisi gendongan anaknya. Sementara Yusuf yang cacat, takkan pernah mengerti kenapa ibunya membawanya pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang sengatan terik matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.
Ribuan kilo sudah disusuri, jutaan orang sudah dijumpai, tak terbilang kalimat pinta yang terucap seraya menahan malu. Sungguh, sebuah perjuangan yang takkan pernah bisa dilakukan oleh siapa pun di muka bumi ini kecuali seorang makhluk Tuhan bernama; Ibu. Ia tak sekadar menampuk beban seberat 40 kg, tak henti mengukur jalan sepanjang kota hingga batas tak bertepi, tetapi ia juga harus menyingkirkan rasa malunya dicap sebagai peminta-minta, sebuah predikat yang takkan pernah mau disandang siapapun. Tetapi semua dilakukannya demi cintanya kepada si buah hati, untuk melihat kesembuhan anak tercinta, tak peduli seberapa besar yang didapat.
Tidak, ia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sembuh. Ia tak pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan di setiap jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya, semua letih yang menderanya sepanjang jalan menyusuri kota. Ibu takkan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya, tak mungkin juga si anak mengganti dengan seberapa pun uang yang ditawarkan untuk setiap hembusan nafasnya yang tak henti tersengal.
Lutfia, adalah contoh ibu yang boleh jadi semua malaikat di langit akan mengagungkan namanya, yang menjadi alasan tak terbantahkan ketika Rasulullah menyebut "ibu" sebagai orang yang menjadi urutan pertama hingga ketiga untuk dilayani, dihormati, dan tempat berbakti setiap anak. Lutfia, barangkali telah menggenggam satu kunci surga lantaran cinta dan pengorbanannya demi Yusuf, anak tercintanya. Bahkan mungkin senyum Allah dan para penghuni langit senantiasa mengiringi setiap hasta yang mampu dicapai ibu yang mengagumkan itu.
Sungguh, cintanya takkan pernah terbalas oleh siapapun, dengan apapun, dan kapanpun. Siapakah yang lebih memiliki cinta semacam itu selain ibu? Wallaahu 'a'lam
Ruang tunggu klinik
itu masih penuh pengunjung. Aku duduk di salah satu sudut bersebelahan dengan
seorang wanita seusiaku. Rasa letih yang amat sangat dan linunya persendian
ditingkah pula oleh pening di kepala yang semakin terasa berat. Wangi parfum
dari wanita muda di sebelahku menghentak-hentak rasa mual dalam perut ini.
Syukurlah namaku segera dipanggil oleh seorang perawat yang manis. Segera aku
masuk ke ruang kerja dokter. Seraut wajah tegar menyambutku dengan senyum
tipis. Aku pun duduk di kursi seberang meja berhadapan dengannya.
" Nyonya A ?" tanyanya. Aku mengiyakan. " Saya sudah lihat hasil laboratoriumnya , nyonya positif." Lanjutnya pula." Bagaimana dok ?" tanyaku berharap ketegasan. " Anda hamil." Disebutkannya usia kandunganku yang rupanya sedang dalam masa emesis.Oh alangkah sulitnya kuungkapkan perasaan hatiku ketika itu. Bertahun-tahun aku menantikannya.
" Nyonya A ?" tanyanya. Aku mengiyakan. " Saya sudah lihat hasil laboratoriumnya , nyonya positif." Lanjutnya pula." Bagaimana dok ?" tanyaku berharap ketegasan. " Anda hamil." Disebutkannya usia kandunganku yang rupanya sedang dalam masa emesis.Oh alangkah sulitnya kuungkapkan perasaan hatiku ketika itu. Bertahun-tahun aku menantikannya.
Tuhanku, hanya
sebaris kalimat syukur meluncur dari bibirku yang bergetar menahan haru. Dengan
cermatnya sang dokter memeriksaku. Sedemikian telitinya hingga aku merasa
begitu lama waktu merayap. Akhirnya dokter yang cekatan itu mengatakan bahwa
keadaanku normal-normal saja. Begitu pula janin yang kukandung. Diberinya aku
resep vitamin dan pelancar metabolisme. Aku pulang dengan rasa bahagia yang tak
terkata. Hilang rasa letihku. Hilang segala rasa sakit dalam tubuhku terhapus
oleh rasa bahagia menyadari hadirnya buah hati dalam rahimku.
Setiba di rumah,
kutumpahkan rasa bahagiaku dalam sujud syukur di hadapan Yang Maha
Tinggi.Sungguh karunia-Nya tak pernah putus-putusnya menyirami hidupku.Ilahi,
kalau bukan karena Engkau tak mungkin kukenal shalat, tak mungkin kukenal
hidayah dan ni’matnya beribadah kepada Engkau. Segala puji hanyalah
bagi-Mu.Suamiku,Kunantikan engkau pulang dengan hati girang. Ingin kukabarkan
segera berita gembira ini. Kutahu telah sekian lama kau nantikan berita ini
terucap dari bibirku. Aku pun hampir tak sabar menanti.Namun hingga senja hari
lewat kau belum juga kembali.
Hidangan yang telah
kusiapkan mulai menjadi dingin. Kuhibur hatiku barangkali engkau sedang
menghadapi banyak pekerjaan. Kusibukkan pikiranku dengan tadarus Qur’an dan
wirid ma’thurat. Semoga engkau tetap dalam lindungan Allah.Menjelang Isha
barulah engkau pulang. Dalam kepenatan kutangkap kilatan cahaya dari sepasang
matamu yang teduh. Bersinar kemilau namun sulit untuk kutafsirkan. Lalu dengan
lembut engkau minta maaf karena terlambat pulang. Ada urusan penting rupanya
hingga engkau tertahan sekian lama. Buatku sendiri, melihat dirimu saja sudah
cukup menenteramkan perasaanku, menghapus penantian yang terasa amat panjang.
Hanya saja melihat engkau letih begitu, kuurungkan niatku untuk menyampaikan
berita itu. Biarlah kutunggu hingga hilang penatmu, kunanti hingga engkau segar
kembali …
Usai shalat ‘isha berjamaah,
engkau mengajakku berbicara. Ketika itu fahamlah aku kilat bahagia apa yang
bersinar di matamu saat kau pulang tadi. Ini adalah momen yang sangat penting
dalam hidupku. Dapat kurasakan kebahagiaanmu dan akupun bahagia pula karenanya.
Namun, tiba-tiba serasa ada yang menghentak dalam dadaku. Sesungguhnya apa yang
kau katakan adalah ikrar dan cita-cita kita sejak lama. Tetapi saat ini aku
merasakannya sebagai sesuatu yang teramat berat. Aku memerlukan segunung
ketabahan dan kekuatan iman !Perasaan manusiawiku kepadamu sungguh tak dapat
kugambarkan bagaimana. Meski begitu aku menyadari kecintaan kepada Allah harus
kutempatkan di atas segalanya. Apa yang ada padaku saat ini bukanlah milikku.
Karunia Allah sajalah
yang membuatkku dapat merasakan ni’matnya iman dan islam di sisimu. Dan kini,
mestikah kutahan-tahan apa yang bukan milikku ketika Sang Pemilik memintanya
?Tetapi, haruskan kulepaskan kebahagiaan yang baru saja kurasakan ? Haruskah
???Suara gemuruh bertalu-talu seperti hendak memecahkan dadaku. Bertarung
antara suara hati nuraniku melawan emosi dan nafsu. Antara keikhlasan dalam
cinta kepada-Nya dan cinta manusiawiku kepada suami dan anakku yang belum lagi
terlahir.Ilahi, mestikah aku kehilangan saat-saat bahagia yang tengah kugenggam
dengan merelakan suamiku pergi yang entah kapan akan kembali atau bahkan tidak
akan pernah kembali lagi ...?Dan anakku, ia akan menjadi yatim sebelum sempat
memandang wajah ayahnya.Lalu, bagaimanakah akan kuhadapi hidup ini tanpa
dirinya lagi, tanpa bimbingan dan perlindungannya ?Sanggupkah aku ???Di puncak
pergulatan batin, saat itulah gelegar dahsyat menghentikan bisikan iblis dalam
batinku bagai suara guntur mengatasi gemuruh hujan………..
" Dan di antara
manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan
Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya……"" Katakanlah : jika
bapak-bapakmu, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah
dan Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq…
"Bagai canon
menghancurkan dinding konstantinopel, rontoklah bayang-bayang ego-ku. Batu
karang di lautan jiwa ini luruh berkeping-keping. Aku tersadar dalam pemahaman
yang segar tentang hakikat cinta.Ya Allah, wahai Kekasih, asal Engkau tidak
tinggalkan aku dalam lautan cinta ini, asal Engkau tidak murka padaku, aku
tidak peduli !Hanya keselamatan dari-Mu lebih melapangkan hati hamba-Mu ini.
Aku berlindung dengan nur wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan menjamin
kebaikan di dunia dan akhirat dari amarah-Mu yang akan menimpa diriku dan
murka-Mu yang akan membinasakanku.
Kumohon ridha-Mu
sampai kuperolehnya.Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu juga …….Ada rasa
lapang di dada. Kubiarkan hawa kepasrahan mengisi paru-paru. Duka kali ini
terasa begitu manis. Ada rasa sesak yang terangkat ketika malaikat membukakan
pintu langit. Saat kau bertanya bagaimana pendapatku; dengan mantap kukatakan
padamu :" Bukankah sejak kita menikah telah kita ikrarkan bahwa perkawinan
ini adalah bagian dari perjuangan ? Telah kita tetapkan syahid di atas keingininan
yang lainnya, ingatkah kau ?Kini, apakah aku akan menghalangimu untuk menggapai
cita-cita kita itu ?
Tidak, bang Jundi.
Karunia Allah yang diberikan kepada kita dalam Iman dan Islam jauh lebih besar
ketimbang pengorbanan yang harus kita lakukan saat ini. Benar, kasihku padamu
tak terhingga besarnya. Namun itu semua karena cinta kepada Allah jua.
Berangkatlah, bang. Insha Allah saya akan tabah. Hanya saja tolong doakan agar
saya teguh hati meniti perjalanan hidup ini hingga Allah mempertemukan kita
kembali di akhirat kelak….
"Usai berkata
begitu kumintakan maafmu kalau-kalau selama kita bersama terdapat sikapku yang
kurang kau sukai. Engkau hadiahi aku dengan senyum penuh makna. Takjub aku akan
akhlakmu. Engkau begitu memuliakanku selama ini padahal aku bukanlah orang yang
pantas menerima kehormatan seperti itu. Pedih hati ini mengingat cacat-celaku,
namun terobat perasaanku ketika engkau katakan bahwa engkau sangat berharap doa
dariku.Malam merayap perlahan. Rembulan tersenyum lembut ketika kusibak tirai
jendela kamar. Aku masih terjaga ketika engkau telah terlelap dalam letihmu
setelah seharian bekerja.
Dalam hening kutatap
wajahmu, kukirim sebait doa yang tumpas di kesunyian.Suamiku, sungguh kasih
sayang Allah yang tak terhingga ketika mempertemukanmu kepadaku sebagai suami yang
begitu bersih buatku. Ketika itu aku tengah tersaruk-saruk meninggalkan
masa-masa kebodohan. Tanganku menggapai-gapai mencari pokok tempat bergantung.
Ketika itulah atas takdir Allah tangan kokohmu menyambutku, membimbingku dari
alam ketidakpastian ke dalam cahaya Islam yang cemerlang. Kaubawa aku dalam
hidup penuh makna di bawah bimbingan rabbanimu. Kauluruskan cara berfikir,
berasa dan bertindakku selaras dien yang hanif ini.Lalu kau arahkan aku agar
dapat berjalan sendiri.Hidup bersamamu bukannya dalam taburan madu. Aku sering
kau tinggalkan ketika tugas mewajibkanmu untuk pergi. Namun itulah cara terbaik
bagiku. Dengan begitu sandaranku kepada Allah menjadi lebih kokoh. Dan kini kau
akan meninggalkanku untuk cita-cita tertinggimu. Firasatku mengatakan kau tak
akan kembali ….
Sesaat aku teringat
anak kita. Ah anak kita. Aku belum sempat lagi mengabarkannya kepadamu. Semoga
ia mewarisi sifat baikmu. Apakah yang harus kuperbuat kini ?Dalam doa yang
kudus kumohon pertolongan dari-Nya. Kuhapus air mata yang menetes agar tak
sempat terlihat olehmu.
Namun, ikatan batin
kita demikian kuatnya, melampaui dimensi ruang dan waktu, mengatasi mimpi indah
yang mengabarkan suara hati dari lubuk jantung yang paling dalam.Tiba-tiba saja
engkau terjaga dari lelapmu. " Adakah yang ingin dinda katakan ?"
suaramu lirih seperti desir angin menyibak padang ilalang.Mestikah kukatakan
kepadamu tentang si kecil yang denyut kehidupannya mulai berlagu dalam rahimku
?Wahai suamiku, bukan aku ragu akan keteguhanmu bila mendengar kabar ini sebab
aku percaya engkau seorang yang istiqamah. Hanya saja aku ingin menutup serapat
mungkin pintu fitnah yang dapat kutimbulkan terhadapmu dariku dan anak kita …..
Tetapi dapatkah
kusembunyikan hal ini darimu ? Apakah keterjagaanmu merupakan isyarat dari
Allah? Dan bukankah inipun merupakan satu bentuk ujian dari-Nya ?Kudekati
dirimu. " Bang Jundi." Panggilku. " Janganlah apa yang akan saya
sampaikan ini menjadikan penghalang dari langkah yang telah abang
putuskan."Engkau tersenyum tanpa mengurangi perhatianmu akan
kata-kataku." Insha Allah sepeninggal abang nanti saya tidak akan merasa
sendirian….sebab senantiasa ada Allah dan… ada jundi kecil yang akan saya jaga
sebaik-baiknya …" kataku. Hening sesaat. Sejenak kulihat kau tertegun. Aku
mengerti perasaanmu. Bukankah sudah lama kau nantikan hadirnya buah cinta kita
?" Abang,…" sambungku ," bukannya saya sangsi akan keteguhan
hati abang, tapi karena saya tidak ingin isteri dan anakmu ini menjadi fitnah
bagi tekad suci kita. Abang tak boleh surut melangkah. Jangan abang risau
karena masih ada saya yang akan membesarkan anak kita …dan ada Allah yang akan
melindungi kami selalu….." Aku berusaha untuk tetap tegar.
Kusingkirkan
jauh-jauh perasaan iba-kewanitaanku yang kutahu menjadi titik lemahku.Kau rengkuh
aku penuh kasih sayang. " Dinda," ujarmu, " engkau adalah
sebaik-baik ni’mat yang Allah anugerahkan pada ku….."Ah suaramu itu begitu
sejuk seperti percik air surga. Ada rasa damai di hati.Ada rasa hangat
menyelinap di relung-relung jiwa …..Tengah malam belum lagi lewat ketika kita
berdua sama-sama bersujud menghadapkan wajah dan hati kita kepada Allah.
Semburat nur Ilahi serasa meliputi kita berdua.Suamiku, tidak lama setelah itu
engkau benar-benar berangkat….menuju bumi jihad.Ambon manise hingga kini masih
menangis. Bumi Aceh sudah lama merintih. Belum lagi lagu lama di Palestina,
Bosnia, Kosovo, Moro, Azerbaijan, Chechnya dan belahan bumi lainnya yang
menjerit ditikam pisau kezaliman.Berangkatlah, kekasih. Jangan biarkan serdadu
thaghut itu merobek jantung orang-orang yang lemah dan anak-anak yang tak
berdosa. Bila teringat anak kita, ingat-ingatlah bahwa di sana lebih banyak
lagi anak-anak yang terpaksa lahir sebelum waktunya. Dahsyatnya perang membuat
mereka harus cepat dilahirkan…….
Sementara itu usia
anak kita makin bertambah jua. Gelinjang halus bagai semangat yang menyelinap
ke seluruh sel tubuhku.Mulai terasa ia bergerak dan menendang-nendang dengan
gagahnya seperti kau… yang dengan gagahnya menyerbu musuh di medan-medan
pertempuran.Allahu Akbar !Suamiku, rinduku padamu bukanlah keinginan untuk
bermesra dan memadu kasih, tapi …aku rindukan suasana beribadah bersamamu.
Ingin shalat di belakangmu, ingin mencium tanganmu , meminta maaf dan
berdiskusi denganmu sebab setiap kata yang terucap dari bibirmu adalah tarbiyah
bagiku dan memberiku kekuatan ketika aku kau tinggalkan…
Bila rindu datang
mengganggu, kubuka kembali buku-bukumu. Terhibur hati ini. Kurasakan
seolah-olah kau hadir di sisiku. Namun terkadang bisikan yang tak kuingini
datang juga. Betapa pintarnya syetan mencari jalan untuk melemahkanku. Teringat
aku akan kata-katamu bahwa cinta Allah mengatasi segalanya. Akupun bermunajat
kepada Allah agar diberi kekuatan dan ketabahan dan semoga Ia mengampuniku.Bang
Jundi, tujuh bulan usia anak kita dalam rahimku ketika suatu malam aku bermimpi
berjumpa denganmu. Kau nampak sangat elok dan bercahaya. Kulihat rembulan di
atasmu, kupandang bergantian antara kau dan rembulan namun kau nampak lebih
indah…… bahkan bintang-bintang pun tak dapat menandingi parasmu.
Aku terjaga. Hilang
segala sedih dari hatiku. Sejuk perasaanku. Aku pun bersujud memohon barakah
Allah atasmu.Esok harinya seisi rumah kita nampak bercahaya kemilau. Benderang
luar biasa. Semerbak wangi membuatku terheran-heran. Wanginya…sulit untuk kukatakan.
Belum pernah kucium wangi seharum ini.Sahabat-sahabatku di jalan Allah yang
berta’lim di rumah kita ribut saling bertanya satu sama lain. Tiada seorangpun
di antara kami yang memakai parfum !Baru kudapat jawabnya ketika Ayah dan
seorang sahabatmu berta’ziah ke rumah. Ya, engkau sudah berada di tempat yang
jauh …….Tidak, kekasih. Tidak patah semangatku dengan kepergianmu. Aku tahu
engkau telah menepati janji.Engkau tidak mati! Engkau tetap hidup!!!!!
" Dan janganlah
kamu mengatakan kepada orang-orang yang gugur di jalan Allah,mati ; bahkan
mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya …."" Di antara
orang-orang mu’min itu ada para rijal yang menepati apa yang mereka janjikan
kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur ada pula yang menanti-nanti
(giliran) dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya." Selamat jalan,
bang Jundi. Nantikan aku di sana. Kepergianmu adalah satu kepastian. Kini,
ujian dan derita yang mesti kuhadapi tidak lagi kurasakan sebagai luka namun
bagai angin sejuk yang menyegarkan semangat juangku. Hari-hari berlalu dalam
deru semangat yang tak pernah pupus. Saat kelahiran anak kita kian dekat. Nyeri
yang hebat mulai melilit-lilit dalam perutku. Aku tak bisa lagi berjalan. Hari
itu kubaca surah Yusuf, surah Maryam, surah Luqman dan surah Muhammad
berulang-ulang. Kuhadiahkan buat anak kita yang bakal lahir. Tak jadi soal
laki-laki atau perempuan. Yang terpenting ia berakhlak mulia dan menjadi anak
yang shalih yang bakal menyambung tugas para nabi, menyebarkan syi’ar Islam di
muka bumi ini.
Ya Allah, tabahkan
hatiku. Semoga dosaku akan turut terhapus dengan lahirnya anak dalam
kandunganku ini ……………….Ketika saatnya tiba, sahabat-sahabat kita yang tulus
membawaku ke rumah sakit. Jerit si buyung yang lahir memecah jagat raya….pekik
tangisnya menghapus segala rasa sakitku. AlhamduliLlah dia selamat. Dia tampan
dan gagah sepertimu…..…dia rijal sepertimu.Saat kutatap anak kita, hatiku
tiba-tiba rawan. Sanggupkah aku menjadi ibu yang baik ???Akupun berbisik
padanya ," Wahai ananda, janganlah kau ikuti sifat ibumu yang buruk.
Milikilah sifat yang terpuji. Engkau adalah harta yang paling berharga….."
Kucium ia penuh kasih disaat tangis pertamanya memecah bumi.Kunamai anak kita
dengan nama yang pernah kau sebut dulu. Semoga Allah mengabulkan doa dalam nama
yang indah itu. Suamiku,Satu langkah telah kutempuh. Beribu-ribu langkah lagi
membentang di hadapanku. Badai gelombang yang garang harus kuhadapi. onak dan
duri yang terserak sepanjang perjalanan harus kulewati. Angin puting beliung pun
harus kulampaui. Berat memang. Apalagi kuharus melangkah tanpamu. Namun kuyakin
Allah senantiasa melindungiku.
Aku tahu cinta dan
nafas perjuanganmu senantiasa mengisi hatiku. Ada rasa bangga mengenang
dirimu.Dengan ‘izzah inilah kan kubesarkan buah hati kita.Kekasihku, Satu lagi
janji harus kupenuhi. Aku ingin menghantarkan anak kita agar dapat menyusulmu.
Kuingin ia pun sampai ke gerbang kecintaan-Nya. Aku akan tetap melangkah.
Selangkah demi selangkah aku menapak. Satu langkah lagi. Ya satu langkah lagi!
( Bumi Allah yang
jauh di seberang. Mengenang gugurnya seorang sahabat,
sepuluh tahun silam.Akhi, bagaimana rasanya berjumpa Allah ?
Salam rindu dari sini. )
Buat Mas terkasih : semoga tetap bersemangat.
sepuluh tahun silam.Akhi, bagaimana rasanya berjumpa Allah ?
Salam rindu dari sini. )
Buat Mas terkasih : semoga tetap bersemangat.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Ema Kaysi
Ema Kaysi
Hari pernikahanku.
Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya saat itu aku menjadi
makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan justru rasa haru biru.
Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu. Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.
Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama 'buntelan karung hitam' itu ....?!?" Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut 'buntelan karung hitam'.
"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.
"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.
"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu. baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !!"
DEGG !!!!
Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu. Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.
Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama 'buntelan karung hitam' itu ....?!?" Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut 'buntelan karung hitam'.
"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.
"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.
"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu. baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !!"
DEGG !!!!
****
"Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran Ismail membuyarkan lamunanku. Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
"Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi," sekali lagi Ismail memberi semangat padaku.
'Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat tunai !"
Alhamdulillah lancar juga aku mengucapkan aqad nikah.
"Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien. Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."
****
Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama. Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.
"Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan De'...?" tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui.
"Nanti saja dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.
Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku 'tidak menarik'. Sekelebat pikiran itu muncul ....dan segera aku mengusirnya. Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.
"Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya. Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka," ... Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak."
(QS An-Nisa:19)
Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.
"Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."
Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih menyisakan segumpal ragu.
"Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi.
"Tidak...De'. Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil menggenggam erat tangannya.
****
Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait do'a kubentangkan pada Nya.
"Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu. Karena itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"
Aku beringsut menuju pembaringan
yang amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah istriku denan segenap hati
yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak?
Bukankah ia wanita sholihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya
dengan munajat panjang pada-Nya. Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan
senantiasa melaksanakan shoum sunnah Rasul Nya.
"...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah ..."
(QS. al-Baqarah:165)
Dikutip dari : Majalah Ishlah no 37/tahun III 1995
"...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah ..."
(QS. al-Baqarah:165)
Dikutip dari : Majalah Ishlah no 37/tahun III 1995
Bulan Agustus baru
menunjuk angka dua. Sinar matahari hampir menyelesaikan tugasnya menyinari kota
Jakarta, suasana kelabu begitu terasa di RSCM, para pembesuk serasa enggan
berbicara. Semua hening, semua menunduk tanda sedih.
Semua bermunajat
kepada Allah. Ya Allah, berikanlah kasih sayangmu kepadanya. Janganlah Engkau
beri sakit yang begitu berat dan lama. Sembuhkanlah segera bila Engkau masih
mengizinkannya hidup atau ah. Aku tak tega mengucapkan kata perpisahan ini, Ya
Allah, Engkau Maha Tahu hati manusia, bila Engkau sangat sayang padanya maka
panggilah ia segera dalam dekapan kasih sayangMu.
Suaminya, hari itu
begitu sibuk melihat alat pemantau, denyut nadinya ada dikisaran 15 hingga 60,
suatu ukuran yang sangat lemah untuk ukuran tubuh manusia. Juga fungsi batang
otak yang harus selalu memberikan instruksi kepada organ tubuhnya ada dilevel
3, level yang paling bawah dari tingkat kesadaran manusia. Suaminya, keluar
dari ruang ICU, berdiskusi sejenak dengan sanak saudaranya. Berkatalah si
Suami. Mari kita bersabar, bilamana Allah sangat menyayangi ummi, biarkanlah ia
menyambut panggilanNya. Dini dan Dina, tak kuasa menahan keluarnya air mata,
bukan tidak ridha, tapi tangisnya adalah tangisan sayang buat umminya.
Tiba-tiba, di dalam
sana, suster memangil si Suami untuk bersegera membantu keberangkatan istrinya
menyambut panggilan Allah. Segeralah, si Suami membacakan kalimat Laa Ilaaha
Ilallah, secara berulang-ulang. Dan juga dibacakan beberapa ayat Al-Qur'an. Di
luar semakin hening, semua mata tertuju pada tubuh yang terbaring dibalik
jendela kaca yang sengaja dibuka oleh suster. Semua pembesuk turut berdo'a
menghantar kepergian ummi ke tempat yang jauh untuk tidak kembali. Akhirnya,
menjelang waktu ada di angka 17.50, Ummi yang telah lama terbaring itu pergi
menjumpai Rabbnya.
Kami tidak melihat
dia bergerak kesakitan, tidak ada obat lagi dan tidak ada beban lagi. Pergilah
menyambut panggilan Ilahi Rabbi. begitu gumamku lirih.
Selamat menikmati
dekapan kasih sayang Rabbmu.
"Ya ayyatuha nafsul muthmainnah irji'ii ila rabbiki raadhiyatan mardhiyah fadkhulii fii ibadii wadkhuli jannati.. " Ya Allah, panggilah Ummi yang terbaring ini dengan panggilan kasih sayangMu. Sungguh ya Allah, begitu mulia hidupnya, ia terus bergerak memenuhi dunianya dengan dakwahMu, Sungguh ia terus bekerja demi kebaikan ummatMu.
Selamat jalan ummi, do'a kami semua menyertaimu, jangan bersedih. kami akan melanjutkan dakwahmu, kami-kami ini yang akan menggantikan posisimu, kami-kami ini akan mewarisi kepribadianmu, pribadi yang mulia dalam naungan dakwah.
"Ya ayyatuha nafsul muthmainnah irji'ii ila rabbiki raadhiyatan mardhiyah fadkhulii fii ibadii wadkhuli jannati.. " Ya Allah, panggilah Ummi yang terbaring ini dengan panggilan kasih sayangMu. Sungguh ya Allah, begitu mulia hidupnya, ia terus bergerak memenuhi dunianya dengan dakwahMu, Sungguh ia terus bekerja demi kebaikan ummatMu.
Selamat jalan ummi, do'a kami semua menyertaimu, jangan bersedih. kami akan melanjutkan dakwahmu, kami-kami ini yang akan menggantikan posisimu, kami-kami ini akan mewarisi kepribadianmu, pribadi yang mulia dalam naungan dakwah.
Terima kasih kepada seluruh ummat yang turut membantu
meringankan bebannya. Sungguh, amal saudara semua semua tidak akan tergantikan,
semoga Allah membantu saudara-saudara dengan caraNya yang lebih bijaksana.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
silakan bila anda yang pingin komentar, tetapi tolong pakai bahasa yang sopan