“Berdasarkan kisah nyata… hanya
namanya yang berubah. tidak ada maksud menggurui. hanya ingin mengenang. dan
semoga kalian semua ingat apa yang sudah para pahlawan lakukan untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”
Jakarta, 1999
Sastro terbaring di atas ranjang berbalut seprai putih
sambil bersenandung. Cucu perempuannya tampak membaringkan kepalanya di sisi
kakeknya ikut menikmati nyanyiannya walaupun gadis kecil itu jelas tidak
mengenal lagunya. Sekali lagi, si cucu menyodorkan sebuah Juz Amma untuk
kakeknya. Sastro hanya tersenyum, tahu akan apa yang bakal dikatakan cucunya.
“Ayo kek, Aisha ajarin baca Al-Fatihah ya” pintanya
polos dengan mata berharap.
“lagi? Kemarin kan sudah…” elak Sastro dengan nada
bercanda, walau suaranya terdengar parau, akibat tubuhnya yang kian melemah.
“kemarin kan kakek belum selesai bacanya” protes Aisha
sebal.
“kakek ngantuk Aisha, kakek kan sakit” elak Sastro
lagi kemudian langsung membalikkan tubuhnya pura-pura mendengkur.
Aisha tidak melanjutkan protesnya, dia percaya
kakeknya benar-benar tidur. Gadis kecil itu berjinjit untuk mencium kening
kakeknya dengan sayang.
“maafin Aisha ya udah ganggu kakek, met bobo” Sastro
tetap pura-pura tidur.
Sebenarnya Sastro sudah sejak lama hafal Al-Fatihah,
bahkan hampir seluruh isi Al-Quran dia hapal. Bukankah dulunya dia seorang guru
ngaji sebelum masuk tentara? Sastro serta merta teringat peristiwa lalu,
kejadian pahit yang telah merubah hidupnya.
Aceh, 1953.
Peristiwa DI/TII, dimana sekelompok ekstrimis sedang
memperjuangkan terwujudnya Indonesia sebagai negara Islam. Cuaca ketika itu
mendung dengan angin berhembus kencang. Tampak para pejuang kedaulatan
Indonesia sedang berpatroli di sekitar barak mereka yang sederhana.
Pakaian mereka tampak lusuh bersaput debu mesiu serta
darah yang mengering. Janggut dan rambut juga dibiarkan tumbuh tanpa dicukur.
Sastro ketika itu berpangkat letnan, sepuluh orang tentara muda menjadi
tanggung jawabnya. Bedil senantiasa di tangan dan mata selalu awas berjaga.
“sudah enam hari” kata rekannya yang bernama Basri
sambil memainkan pisau.
“kau rindu dengan istrimu?” ledek Sastro.
“ngaco kamu, aku hanya kangen merokok, mulutku sepat
rasanya” elak Basri.
“di belantara begini mana ada yang menjual rokok”
tanggap Sastro terkekeh.
“aku ingin mencari di rimbunan semak sana. Pasti ada
pohon tembakau walaupun cuma sebatang” kata Basri menunjuk sekumpulan tanaman
lebat tak tertembus cahaya.
“tapi lumayan jauh dari perkemahan kita, berbahaya
kalau kamu pergi sendiri” cegah Sastro yang ditanggapi Basri dengan tawa.
“sudah berapa tahun kau jadi tentara? tahukah kau
berapa kali peluru nyaris membunuhku? Bah! Takdir di tangan Allah! Sudahlah
kalau kau begitu khawatir kau ikut saja denganku” sahut Basri.
Sastro memandang kawan-kawannya yang tampak berjaga.
Terbesit perasaan ragu dalam dirinya. Memang bukan sekali ini dia ikut
berperang. entah berapa kali dia nyaris mati dalam perjuangannya. Tapi kali ini
entah mengapa hatinya terasa berat sekali untuk mengikuti Basri.
“kau mau ikut tidak?” Tanya Basri lagi. Dia akhirnya
memutuskan untuk ikut. Sastro tahu Basri keras kepala, kalau sahabatnya mati,
Sastro tidak akan pernah memaafkan dirinya. Siapa tahu para pemberontak itu
akan membunuh Basri ketika dia sendirian.
Benar kata basri, beberapa batang pohon tembakau
tampak tumbuh tegar di sana. Basri mengincar daun-daun yang sudah mengering,
agar bisa langsung dilinting untuk dibakar.
“ah nikmatnya” Basri menghela kepulan asap racun
keluar dari paru-parunya. Baru saja mereka berpikir untuk kembali ke barak.
Tiba-tiba terdengar samar suatu letusan senjata. Pertanda markas mereka tengah
diserang.
“Bedebah!” maki Basri sambil melemparkan lintingan
tembakau yang susah payah dia dapatkan. Sastro gemetar karena firasatnya
terbukti. Teman-temannya dalam bahaya.
Dan ketika mereka kembali ke tenda semua sudah
terlambat. Sastro meraung murka karena para musuhnya berhasil kabur. Gerilyawan
pemberontak itu juga meninggalkan tanda mata untuk Sastro dan tentara lain yang
tersisa. Kepala-kepala tanpa tubuh, ditancapkan pada ruas-ruas bambu menghiasi
tenda mereka.
“mereka datang dengan pasukan yang tiga kali lipat
lebih banyak dari kita” seorang anak buahnya menyeret tubuhnya yang terluka
untuk melaporkan kejadian tadi kepada atasannya.
Sastro memeluk tubuh-tubuh tak bernyawa itu dengan air
mata berlinang. Sementara Basri dan prajurit lain yang tersisa mencoba
menenangkannya.
“Ini perang Sastro…” Rintih Basri.
“tidak hanya kita yang kehilangan, mereka juga…”
tambah yang lain walau semua itu tidak berpengaruh bagi Sastro.
Sastro mengelilingi perkemahan, menyaksikan mimpi
buruk yang paling dihindarinya. Mayat-mayat bergelimpangan, kepala terpenggal,
usus berhamburan.
Sastro tidak habis pikir. Mereka Islam, tapi mereka
tersesat terlampau jauh. Sebagai mantan guru ngaji dia sangat mengerti aturan
peperangan. kalau mereka memang memahami kitab suci mereka tidak mungkin berani
menyiksa musuhnya sedemikian rupa. Mereka seharusnya tahu kalau jiwa mereka
yang membunuh di peperangan karena amarah dan nafsu tidak akan diterima di
surga. Sastro gelap mata. Pikirannya tertutup amarah.
“aku tidak mau Sholat lagi! Aku tidak mau disamakan
seperti mereka!” Teriaknya berulang-ulang.
“Astaghfirullah Sastro..Istighfar” ujar Basri untuk
menenangkannya. Tapi otak Sastro sudah lebih dulu tersaput dendam.
Jakarta, 1999.
Sastro meneteskan air mata. Dia kini sudah menjadi
kakek renta yang sedang menunggu ajal. Tubuh yang dulunya tegap berisi kini
tinggal tulang berbalut kulit. dia takut mati. Dosanya terlampau besar. Dia
malu terhadap sang pencipta.
Salah seorang anaknya mendekati ranjang. Dialah ibu
dari Aisha. Gadis kecil yang tidak pernah jera meminta kakeknya mengaji.
“pak…” putrinya memandangnya lekat-lekat, ingin
memulai pembicaraan. Tampak matanya sembab seperti habis menangis.
“dokter bilang umur bapak tidak lama lagi kan?” tebak
Sastro. Putrinya menggeleng lemah.
“dokter tidak bilang begitu, dia hanya bilang kalau
bapak sakit parah dan sulit diobati”
“itu sama saja” tanggap Sastro sambil tersenyum pahit.
Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangan matanya mengabur seakan ada ribuan
kunang-kunang mengitari dirinya. dia lalu mengenang hidupnya yang tidak pernah
membosankan.
Selama sisa hidupnya sastro dikenal sebagai orang yang
baik. Dia tidak pernah mabuk-mabukan. Dia tidak pernah main perempuan. Dia
selalu berkurban setiap Idul Adha. Dan Entah sudah berapa Mushola di Jakarta
yang terus berdiri dan kokoh berkat sumbangan darinya.
Satu yang Sastro sesali adalah dia tidak pernah
Sholat. Rasa ego dan janji bodohnya di masa lalu yang menyatakan tidak mau lagi
menginjak sajadah membuatnya malu terhadap Sang Pencipta. Dia takut ibadahnya
tidak diterima. Kini dia bahkan hampir lupa bagaimana caranya Sholat.
“pak…” sapa putrinya yang segera membuyarkan
lamunannya.
“bapak belajar Sholat ya?” lanjut putrinya. Sastro
cukup terkejut, karena selama ini putrinya seakan tidak pernah mempermasalahkan
keislamannya. Sastro diam saja.
“bapak sudah tahu dari dulu kan kalau mereka yang
membunuh anak buah bapak secara sadis waktu perang dulu, sebenarnya adalah
orang-orang yang tidak paham sama agamanya sendiri?” Sastro terbatuk, dia
terkejut.
“kamu kok tahu nak?” Tanya Sastro. Putrinya hanya
tersenyum menenangkan.
“beberapa tahun lalu pak Basri pernah cerita sama
Lala, bapak jangan terus mendendam. Bapak jangan terpengaruh sama masa lalu.
Percayai hati nurani bapak saja…” ujar Lala putrinya sabar. Sastro kembali
membisu selama beberapa detik.
“Bapak malu nak…” kata sastro akhirnya. Sebelum Lala
sempat menanggapi. Pintu kamar Sastro terbuka. Dan masuklah Aisha, gadis kecil
yang terus meneror Sastro selama beberapa tahun ini.
“eh kakek udah bangun, sini Aisha ajarin baca
Al-fatihah” Sastro merasa kehangatan tiba-tiba merayap di tubuhnya.
“boleh, tapi ajarinnya pelan-pelan ya” Sastro
berharap, ketika ajalnya menjemput. Dia bisa pergi dengan perasaan bangga.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
silakan bila anda yang pingin komentar, tetapi tolong pakai bahasa yang sopan